Pernikahan
Edisi : 20 Agustus 2020, 20:22:15
Kutip dari : Sultan{1}
------------------
Ali : "Malang sekali nasib gue bro. Umur udah 25, masih jomblo, dan gak tau apakah suatu saat nanti gue akan nikah atau enggak. Gue cuma laki² kere yang hanya berpenghasilan 900 ribu per bulan. Untuk kebutuhan sehari² gue aja susah. Gak punya kendaraan, apalagi rumah. Dari segi fisik gue juga gak menarik. Udah jelek, pendek, bulet lagi"
Amar : "Baguslah kalau sekarang lu masih jomblo dan belom nikah"
Ali : "Kok bagus ? Jadi jomblo itu gak enak. Kesepian.."
Amar : "Karena kalau sekarang lu udah nikah, hidup lu bakal lebih ancur dari kondisi lu sekarang. Gaji lu cuma 900 ribu dan itu pun masih belum cukup buat diri lu sendiri. Gua tau kondisi lu, buat kebutuhan sehari² aja masih susah. Coba bayangin kalo dalam kondisi hidup lu yang kaya begini lu udah punya bini. Kalo buat diri lu sendiri aja masih kurang, gimana buat nafkahin bini ? Belum lagi kalo punya anak.
; butuh uang susu, uang sekolah, uang jajan, uang ini, uang itu, hadeuuhh... Bisa pecah kepala mikirinnya"
Ali : "Jadi, apa lebih baik gua terus menjomblo kalo kondisi gua kaya begini terus ?"
Amar : "Ya, lebih baik begitu"
Ali : "Kalo seumur hidup gua begini terus gimana ?"
Amar : "Ya lebih bagus lu jomblo seumur hidup. Lebih baik lu hidup susah kaya begini seumur hidup dalam keadaan jomblo daripada dalam keadaan berkeluarga. Setidaknya penderitaan yang lu alami tidak akan sepahit dalam keadaan berkeluarga"
Bagaimana pendapat @KangAsep mengenai obrolan di atas ?
==========
Tentang pernikahan yang tadi ditanyakan oleh Mas Sultan, Jawaban saya sebagai berikut.
Pertama, setiap orang tidak boleh merendahkan diri sendiri, karena itu merupakan sikap sombong. Jadi, sikap sombong itu bukan hanya merendahkan orang lain, tapi juga merendahkan diri sendiri.
Tidak semestinya Ali menghina dirinya sendiri dengan mengatakan, "penghasilan saya hanya 900, gak punya kendaraan, gak punya rumah dan saya juga berwajah jelek".
Mengapa orang menghina dan merendahkan diri sendiri ? Tidak malukah dia pada Tuhan yang telah menciptakan dan menyayanginya ? Tidak bersyukurkah dia telah diberikan anggota tubuh yang sempurna ? Tuhan telah memberinya nafas kehidupan, memberinya mata untuk melihat, telinga untuk mendegar, tangan untuk menggengam dan kaki untuk berjalan. Nikmat manakah yang dia bisa semunyikan, sehingga harus menghina pemberian Tuhan yang Maha Pemurah ?
Kalau orang sudah menghina dirinya sendiri, maka bagaiman orang lain akan dapat menghargai dia. Jika orang menhina dirinya sendiri karena kemiskinannya, maka kelak dia akan menghina orang miskin ketika dia kaya.
Kedua, soal mau menikah atau membujang, itu tidak ada larangan. Para filsuf maupun para Nabi tidak pernah mewajibkan maupun melarang pernikahan. Jadi, tidak pantas orang yang menikah merendahkan orang lain yang hidup membujang. Tidak pantas juga orang yang membujang merendahkan pihak lain yang hidup berumah-tangga.
Perbandingan antara hidup berumah tangga dengan hidup membujang, mana yang lebih baik ? Tidak dapat dikatakan salah satunya lebih baik,salah satunya lebih buruk atau keduanya sama. Karena menikah tak menikah bukan tolok ukur untuk mengatakan sama baik, sama buruk, lebih baik ataupun lebih buruk.
Orang baik akan menjadikan sesuatu yang buruk menjadi baik. Tapi orang buruk akan menjadikan sesuatu yang baikpun menjadi buruk. Baik buruknya seseorang dinilai dari tabiat dan perilaku, bukan dari kondisi membujang atau menikah.
Ketiga, saya percaya kepada hadis Nabi saw yang mengatakan "Iltamizuu arrizka binnikah" (carilah rezeki dengan menikah). Allah tidak hanya memberikan rezeki kepada laki-laki, tapi juga kepada perempuan. Jadi, jika seorang pria menikah dengan seorang wanita, maka dua rezeki menyatu. Sebenarnya, jika seorang pria dapat menemukan wanita yang bisa mencintainya dengan sungguh, itu juga sudah mereupakan tambahan rezeki dalam hidup.
Allah juga menurunkan rezeki bagi putra-putri kita yang akan dan telah lahir. Sejak di dalam perut ibunya, anak-anak kita sudah mendapatkan rezeki sehingga dia dapat tumbuh berkembang. Dalam beberapa kasus yang saya saksikan, para wanita tidak mengeluarkan air susu walaupun mereka sudah hamil sembilan bulan. Namun begitu anaknya terlahir, tiba-tiba air susunya mengalir deras dari payudaranya. Tidakkah itu cukup memberi kita petunjuk, bahwa Tuhan memberi rezeki kepada makhlukNya dengan cara yang tidak mampu dilakukan oleh makhluk ? Bagaimana cara air susu itu bisa keluar ? Apakah dengan usaha ibu atau ayahnya ? sekali-kali tidak. Tuhan yang Maha Pemurah itulah yang menurunkan rezeki untuk makhluk-makhlukNya.
Keempat, orang yang berkata,"Kalo kamu menikah, hidup lu bakal hancur" seperti Amar, ia adalah orang yang gegabah. "Jika orang yang berpenghasilan rendah menikah, maka hidupnya akan hancur", proposisi ini bernilai false, karena ternyata ada orang yang berpenghasilan rendah menikah, lalu hidupnya menjadi lebih baik.
Saya berpenghasilan rendah ketika saya menikah dengan istri saya. Bahkan saya tidak memiliki pekerjaan tetap. Banyak orang mencela dan mencemooh saya karena berani menikah sebelum mapan. Ketika seseorang bertanya, "Mengapa kamu berani menikah sementara kamu tidak memiliki penghasilan tetap?" Saya menjawab, "Karena saya bukan seorang pemalas. Selalu bersemangat dan bekerja keras. Saya jujur dan dapat dipercaya. Jika saya tidak melihat sifat-sifat ini di dalam diri saya sendiri, niscaya saya tidak akan berani menikah."
"Apa gunanya kerja keras, pergi pagi pulang malam, tapi penghasilan nihil ? istrimu butuh uangmu, bukan butuh kerja kerasmu." kata orang itu.
Saya menyangkalnya, "Tidak. Dia mencintai saya. Hadirnya saya di dekatnya, itu sudah membuatnya bahagia. Apalagi bila saya memiliki sifat-sifat yang bajik. Cinta istri saya tidak akan luntur, karena penghasilan saya rendah, tapi cintanya akan lenyap, bila saya malas bekerja, bohong, atau mengkhianatinya. Berapapun uang yang sya berikan, istri saya tahu itu hasil kerja keras saya dengan pelu keringat, kerja membanting tulang atas dasar cinta. Nakfah yang sesungguhnya bukan berapa besar uang yang saya berikan kepada istri saya, tapi seberapa keras saya berjuang untuknya."
Kelima, saya sering menyarankan kepada para pemuda untuk segera menikah. Karena mereka memiliki hasrat yang kuat untuk menikah. Namun mereka terhalang oleh "negatif thinking", atau "pesimisme" atau karena "ideologi tertentu". Ketiga faktor tersebut adalah ideologi yang sebenarnya saya lawan, sehingga menjadi dasar dalam menyarankan pernikahan.
Jika orang memiliki dorongan biologis untuk menikah, namun dia menahan diri karena negatif thinking maupun pesimisme, maka dia itu telah dzalim kepada dirinya sendiri. Orang memelihara kambing saja, dia harus mencarikan pasangannya. Jika tidak mencarikan pasannya, maka orang itu dzalim terhadap makhluk Tuhan. Jika terhadap hewan saja mesti adil, apalagi terhadap manusia, termasuk terhadap diri sendiri. Jika perut lapar, perut itu harus diberinya makanan. Jika mengantuk, tubuh harus diizinkan untuk tidur. Jika tertarik pada sentuhan wanita, dia harus menikah. Itu namanya berbuat adil.
Sumber Kutipan :
---------------
1. https://t.me/LogikaFilsafat/83587
Komentar
Posting Komentar